Duo Trio Soeharto
Soal keterlibatan personel maupun institusi yang dikhawatirkan Soeharto itu juga tertuang dalam “Cornell Papper” yang disusun Ben Anderson dan Ruth McVey setelah meletus gerakan 30 September 1965. Mereka menduga gerakan itu merupakan peristiwa internal Angkatan Darat, terutama Kodam Diponegoro. Tentu saja pandangan tersebut merupakan versi awal yang belum lengkap walau tetap menarik untuk diulas dan diteliti lebih lanjut.
Yang mendasari penulisan tersebut adalah pengakuan dari bekas Wakil Perdana Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelegen, Soebandrio. Setelah tiga dekade di penjara, ia mengolaborasikan versi keterlibatan perwira Diponegoro.
Pertama, terdapat trio untuk dikorbankan, yakni Mayjen Soeharto, Letkol Infantri Untung dan Kolonel Inf Latief. Kedua, trio untuk dilanjutkan, yakni Mayjen Soeharto, Kolonel Inf Yoga Soegama dan Kolonel Inf Ali Moertopo.
Dari dua trio itu, terlihat bahwa baik pelaku gerakan maupun pihak yang menumpasnya berasal dari Kodam Diponegoro. Itu pula yang menjelaskan bahwa gerakan tersebut tampil hanya di Jakarta dan wilayah Kodam Diponegoro (Semarang dan Yogyakarta).
“Dan, gerakan itu dapat dipadamkan dalam hitungan hari. Alasan itulah yang digunakan mengapa Soeharto tidak masuk daftar orang yang diculik,” kata Ben Anderson.
Mengapa? Karena Mayjen Soeharto dianggap “kawan” dan minimal “bukan musuh”. Apalagi, Soeharto dan Latief sama-sama ikut dalam serangan 1 Maret 1949, yang kemudian dijadikan sebagai Hari Ulang Tahun Kodam Diponegoro. Dan, pemerintah Orde Baru pun mengekspos bahwa Soeharto sebagai perancang serangan umum tersebut.
Di institusi militer ini pula, kala masih bernama Divisi Diponegoro, terjadi upaya penggagalan Kolonel Inf Bambang Supeno untuk menjadi panglima divisi. Pada akhir tahun 1956, ketika rencana pengangkatan Bambang Supeno sebagai Panglima Diponegoro bocor, terjadi rapat gelap yang terjadi di Kopeng yang dihadiri sejumlah perwira yang dikoordinasikan Kastaf Divisi Letkol Soeharto melalui anak buahnya, Mayor Yoga Sugamo, sebagai Asisten I Divisi di Semarang.
Dari puluhan perwira yang hadir, hanya Kolonel Suhardi yang menandatangi persetujuan pencalonan Letkol Soeharto dan menolak pencalonan Bambang Supeno tinggal menunggu tanda tangan Presiden Soekarno. Akhirnya, upaya rahasia itu berhasil menggagalkan Bambang Supeno.
Seandainya “operasi” gagal maka rapat gelap itu akan diusut dan yang paling terbukti adalah Kolonel Suhardi. Sedangkan, Soeharto tidak terbukti tersangkut, karena ia menjadi “Mr Alibi”. Masalah itu dicatat Ali Murtopo yang ketika itu berpendapat kapten dan sebagai komandan raiders yang diminta Yoga Sugomo untuk melakukan operasi intelejen soal pencalonan Soeharto (Yoga Sugomo 1990:20-30)
Selanjutnya, Yoga Sugomo mencatat bahwa rapat di Kopeng itu dihadiri oleh Sudarmo Djojowiguno, Suryo Sumpeno, Surono, Pranoto, Suwito Haryoko (Asisten II), Suwarno (Asisten IV), dan -Munadi (Asisten V). Ia dan Mayor Suryo Supemo berangkat ke Jakarta menemui Kolonel Zulkifli Lubis di MBAD-untuk menggagalkan pencalonan Bambang Supeno dan menggantinya dengan Soeharto. Usaha itu berhasil. (Yoga Sugomo 1990:80-82).
Inilah trio pertama Soeharto-Ali Murtopo-Yoga Sugomo. Trio ini pula kelak melakukan usaha-usaha menikam politik konfrontasi Presiden Soekarno dengan penyelundupan ke Malaysia dan Singapura serta kontak-kontak politik gelap dengan pihak Malaysia yang melibatkan tenaga miliiter, politisi sipil antikomunis, dan pengusaha.
Kontak-kontak trio ini di lapangan melibatkan Ali Murtopo, Benny Murydani, AR Ramly, selanjutnya di Malaysia dengan Des Alwi, Simitro. (Yoga Sugomo 1990:139; Hanafi 1998:206).
Setelah menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Kolonel Inf Soeharto memiliki cerita yang mengenaskan. Ia pernah dituding melakukan kegiatan illegal sehingga dicopot dari jabatannya sebagai panglima divisi.
Saat itu, Soeharto membentuk “geng” dengan sejumlah pengusaha, seperti Lim Sio Liong, Bab Hasan dan Tek Kiong. Soeharto dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono Humardani. Kelompok ini dituding menjual 200 truk selundupan kepada Tek Kiong.
Persoalan itu kemudian dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika itu menjabat sebagai kepala Divisi Diponegoro. Kasus itu tercium oleh MBAD. Akhirnya, dibentuk tim pengusut yang diketuai Mayjen Suprapto dengan anggota Mayjen S Parman, Mayjen MT Haryono, Brigjen Sutoyo, dan Brigjen DI Panjaitan.
Langkah ini diikuti oleh surat perintah Jendral Nasution kepada Jaksa Agung Sutarjo dalam rangka pemberantasan korupsi untuk menjemput Kolonel Soeharto agar dibawa ke Jakarta pada 1959. Soeharto akhirnya dicopot sebagai panglima Diponegoro dan digantikan oleh Pranoto melalui surat keputusan Presiden Soekarno.
Namun, Soeharto tidak diajukan ke depan pengadilan setelah ayah angkat dari Bob Hasan, Letjen Gatot Subroto, meminta “keringanan hukuman” kepada Presiden Soekarno. Soeharto akhirnya disekolahkan di Seskoad Bandung.
(sumber : Republika edisi Rabu, Maret 2012 Hal.29 oleh Selamat Ginting)