Artikel Terbaru :

TERULANGNYA SEJARAH KERUNTUHAN YUNANI

KUTUKAN KUIL DELOS
kejatuhan Yunani bila dibiarkan berisiko tak hanya menimbulkan kegempaan serupa yang diakibatkan ledekan Lehman Brothers Holdings pada 2008, tapi juga mencabik zona euro dengan 17 anggota pada usia mereka masih belia.

sejarah pertama kegagalan wilayah berdaulat melunasi utang saat jatuh tempo terjadi pada 454 sebelum Masehi yang dilakukan oleh 10 wilayah di Yunani. Salah satu debitur adalah Kuil Delos, lokasi kelahiran mitos Dewa Appolo.
Pada abad ke-4 SM, Kuil Delos adalah harta dari konfederasi Yunani, Negara-kota dibawah kepemimpinan Athena. Mereka membayar pendanaan dalam bentuk sumber daya keuangan, pasukan dan kapal. Setiap anggota memiliki suara yang sama dalam keputusan dewan.
Aristides pertama menentukan jumlah kontribusi untuk masing-masing kota sehingga konfederasi menamainya “yang paling adil dari semua orang”.
Pada 454 SM, setelah Athena dibentuk kembali setelah sempat menjadi sebuah kekaisaran, 13 negara-kota berutang kepada Delos. Kesepuluh sampai jatuh tempo tidak bisa membayar utang mereka. Dengan demikian, waktu kemudian mencatat, inilah kasus default pertama kali dalam sejarah dunia.
Dua dari sepuluh Negara-kota, memang, merekan akhirnya bisa melunasi utang mereka, sementara delapan lainnya meminta negosiasi ulang utangnya. Sejak itu, keputusan diambil hanya oleh Athena dan pajak pun ikut diatur ulang.
Lebih dari 24 abad kemudian, pada 2009, Yunani berada kembali di tepi jurang yang sama, yakni gagal membayar hutang. Pembuat kebijakan kontan mencemaskan guncangan global yang bisa dipicu dari tunggakan pemerintah sebesar 483 miliar dolar (4.390 triliun). Angka fantastis itu lima kali lipat dari utang Argentina sebesar 95 juta dolar (864 triliun) yang juga membuatnya bangkrut pada 2001.
“Ada jumlah ketidakpastian dalam skala monster sekaligus rentang,” komentar kepala ekonomi Eropa dari JP Morgan Chase & Co, David Mackie, menggambarkan resiko bencana ekonomi bila Yunani tak terselamatkan. “Musibah besar ekonomi makro ini bisa dihindari, tetapi hanya dengan aksi kebijakan agresif oleh bank sentral dan para pemerintah,” ujarnya kemudian.
Kejatuhan Yunani bila dibiarkan berisiko besar menimbulkan kegempaan serupa diakibatkan ledakan Lehman Brothers Holdings pada 2008, ketika pasar kredit membeku dan ekonomi global tenggelam dalam resesi. Bedanya, kali ini prospek zona euro dengan 17 negara pemegang mata uang tersebut bisa tercabik, bahkan sebelum dewasa.
Lembaga keuangan international, International Monetary Found (IMF), yang saban tahun menggelar rapat di Washington juga menyatakan saat itu bahwa krisis utang mengakibatkan risiko kredit sebesar 300 miliar euro di bank-bank Eropa. Pengamat menyatakan, sulit bagi Yunani untuk keluar dari krisis seorang diri. “ Terlambat bagi Yunani. Situasi di Negara itu kian di luar genggaman dan saya pikir mereka tak bisa menghindari kegagalan melunasi pokok utang,” ujar mantan banker dari bank sentral inggris, Horward Davies.
“Efek penularannya begitu cepat dan berbahaya mengingat surat utang Yunani berjangka dua tahun, kini dalam prediksi pengamat merosot hingga di bawah 30 sen per euro. Saya pikir bank sentral Eropa bakal menjadi perespons utama dalam pembelian surat utang pemerintah,” ujarnya.
Prediksi itu benar, Yunani tak dapat mengatasi krisis itu sendirian. Kondisi demikian terpuruk hingga gaji seluruh pegawai negeri dan pensiunan sempat tidak dibayar. Pada 23 April 2010, secara resmi pemerintah Yunani meminta bantuan keuangan.
Kondisi itu cepat di tanggapi oleh Uni Eropa, terutama Jerman dan Prancis. Bila media lebih menyoroti kedua pemimpin negara itu, yakni kanselir Jerman Angela Merkel dan Perdana Menteri Prancis Nicholas Sarkozy, tak perlu heran. Sebab, keduanya ialah kekuatan pusat utama sekaligus pendiri ‘klub’ Eropa tersebut.
Secara ekonomi, Jerman, pemegang rekor eksportir terbesar dunia dalam lima tahun berturut-turut (2003-2008) dengan GDP tertinggi keempat dunia total 3.628 triliun dolar, dan Prancis dengan GDP 2.808 triliun dolar menyusul setelah Jerman, adalah negara kaya yang jauh dari krisis. Namun, konsekuensi dari mata bersama, bila ada satu negara terkena krisis, akan menyeret ekonomi keseluruhan.
Akhirnya, pada 9 Mei 2010, menteri keuangan Eropa menyetujui untuk menganggarkan paket dana talangan dalam kas sebesar 750 miliar euro (Rp 9.100 triliun). sedangkan, tujuh hari sebelumnya negara zone euro dan IMF telah sepakat mengucurkan pinjaman sebesar 110 miliar euro (Rp 1.334 triliun). Kemudian, paket talangan kedua diberikan lagi sebesar 130 miliar euro (Rp 1.580 triliun). Tapi, tentu bukan tanpa ongkos.
Selain Yunani dipaksa melakukan kebijakan pengetatan ikat pinggang di dalam negeri, semua kreditur juga diminta setuju untuk merestrukturisasi utang Yunani dan mengurangi tanggungan utang hingga 120 persen dari GDP hingga 2020.
Dalam krisis ini, Jerman dan Prancis bisa dibilang yang paling geram dan dilema. Pasalnya, bila Yunani dianggap yang tak pecus mengurus, negara tak diselamatkan, akan membuat euro terpuruk. Itu berarti menarik ekonomi negara mereka ikut terpuruk. Namun, langkah itu membuat duo Jerman-Prancis sebagai ekonomi terkuat harus menanggung paling besar.
Sebagai langkah kompromi, bank-bank diminta menerima bahwa 53 persen dari utang Yunani akan dibiayai kreditur swasta. kebijakan itu memungkinkan Fasilitas Stabilitas Keuangan Eropa (EFSF) meningkatkan pendapatan hingga 1 triliun meski harus meminta bank-bank Eropa untuk kehilangan modalnya, yakni diperkiraan sebesar 9 persen. Masalahnya, ekonomi Yunani saat ini dinilai begitu buruk sehingga penghapusan utang itu masih belum cukup untuk mengurangi utang Yunani ke dalam level yang dapat dicicil dalam jangka waktu lama.
Kondisi itu bukan tak disadari sendiri oleh Yunani. “Orang-orang mengira, krisis yang saat ini kita alami adalah persoalan potongan gaji, pensiun dan pendapatan hingga prospek rendah bagi pemuda,” ujar Menteri Keuangan Yunani, Evangelos Venizelos. “Sayangnya, itu bukan krisis. Semua tadi adalah sebuah upaya sulit untuk mengatasi krisis. Karena krisis ini serupa Argentina, keruntuhan total ekonomi, lembaga dan jaringan masyarakat serta produktivitas berbasis negara.”
Sebagai penerima dana talangan, Yunani dihadapkan pada sederet persyaratan serius hingga membuat negara itu menerapkan pengetatan ekstrem.
Satu narasi yang bisa menggambarkan krisis bahw guncangan ini dimulai pertumbuhan nyata jumlah modal yang masuk ke investasi pada periode 2000-2007. Ketika itu, sumber dana global tetap berasal dari surat berharga (terutama obligasi dan SUN) meningkat dari 36 miliar dolar AS pada 2000 hingga 70 triliun dolar AS pada 2007.
‘Sumber keuangan raksasa’ ini bertambah ketika dana dari negara-negara berkembang dengan pertumbuhan tinggi memasuki pasar modal dunia. Saat itu, investor mencari keuntungan berdasarkan ketetapan (yield) lebih tinggi ketimbang persentase yang ditawarkan oleh obligasi dan surat utang milik
Departemen Keuangan AS.
Godaan terhadap sumber dana dari para investor global yang mencari yield lebih tinggi di pasar modal disambut oleh kebijakan dan mekanisme control yang berbeda bahkan berani memasang yield tinggi.
Perdangangan surat-surat berharga dan spekulasi demi mengejar keuntungan maksimal (biasanya dari kematangan yield atau yield of maturity) tadi mendorong gelembung demi gelembung bermunculan di penjuru negara khas praktik kapitalisme global. Tidak ada jaminan aset nyata diperdagangkan selain pembayaran investor saat jatuh tempo untuk menghasilkan keuntungan bagi investor lain.
Begitu gelembung meletus, persentase keuntungan turun, tetapi kewajiban terhadap investor global tidak berkurang. Kondisi itu memicu pertanyaan besar terkait kemampuan negara membayar utang dan kekokohan system perbankan mereka.
Bagaimana tiap negara Eropa terlibat dalam krisis pinjam-investasi uang ini, cukup beragam. Contoh Irlandia, dana dari investor global digunakan bank-bank di negara itu untuk meminjamkan uang kepada pengembang properti dan menciptakan gelembung properti massif. Ketika gelembung pecah, pemerintah dan wajib pajak di negara itu diharuskan menanggung utang swasta.
Dalam kasus Yunani, pemerintah meningkatkan komitmen terhadap pekerja dalam kompensasi yang dinilai kelewat dermawan dalam hal gaji dan tunjangan pension. Sedangkan, sistem perbankan Islandia sempat tumbuh cepat, tetapi dengan dana utang kepada investor global beberapa kali lipat dari GDP.
Jalinan hubungan dalam sistem keuangan global bisa digambarkan seperti ini, bila salah satu negara gagal membayar utang atau memasuki resesi, akan menempatkan pula utang swasta di luar negara dalam resiko. Dan, sistem perbankan pemberi utang pun bakal mengalami kerugian.
Sebagai contoh pada Oktober 2011, Italia berutang kepada bank Prancis sebesar 366 miliar dolar AS. Ketika Italia gagal mendanai diri, sistem perbankan dan ekonomi Prancis akan mengalami tekanan signifikan yang bisa memengaruhi kreditur-kreditur Prancis lain. Itulah penyakit keuangan kapitalisme global.
Faktor lain yang berkontribusi dalam jalinan ini adalah konsep jaminan perlindungan keuangan. Institusi yang memasuki kontrak credit default swaps (pengadilan utang tertanggung/CDS) bakal dijamin dengan instrument dana tertentu bila jatuh tempo tiba, tapi belum bisa membayar utang. Namun persoalannya, CDS kerap didanai oleh jaminan keamanan dana negara sehingga ujung-ujungnya tetap timbul ketidakpastian dalam sistem perbankan negara bersangkutan bila sudah menyoal CDS.
Beberapa politisi, seperti Angela Merkel, menyalahkan praktik semacam itu yang telah menyebabkan krisis. Ia menuding iming-iming dana deposito dan para speculator sebagai biang keladi seraya berkomentar, “Institusi yang ditalangi dengan dana publik menyebabkan krisis seperti yang terjadi di Yunani dan di mana pun di dunia,” ujarnya.
Mungkin satu-satunya negara anggota dengan sikap paling keras kepala adalah inggris. Sejak pertama kali gagasan euro muncul pada era Margaret Tatcher, sang wanita besi itu tegas menyatakan, tidak akan mengompromikan poundsterling yang nyata-nyata jauh lebih kuat untuk bergabung dalam mata uang tunggal. Keputusan bisa jadi membuat Inggris hari ini gembira. Ketika krisis menghantam euro, negara Anglo-Saxon itu terseret seperti rekan-rekan mereka di daratan Eropa.
Sikap terkini Inggris terhadap ‘penyeragaman’ kebijakan ialah penolakan untuk ikut menandatangi Pakta Fiskal. Dalam kesempatan fiskal terbaru, para anggota diharuskan taat pada batas deficit, yakni dilarang melampaui angka 3 persen.
Penolakan yang langsung disampaikan PM Inggris David Cameron dalam KTT di Brussel, Desember lalu, kontan disambut dengan kemarahan para pemimpin Eropa, termasuk Merkel sendiri. Inggris dipandang selalu berdiri hanya dengan satu kaki sementara satu kaki di luar.
Para politisi dan pejabat Eropa mengingatkan PM Cameron bahwa Inggris bakal mengalami konsekuensi buruk. Anggota Parlemen Eropa, Martin Schulz, yang menjadi presiden Parlemen Eropa tahun ini memprediksi, Inggris dapat diberhentikan dari UE. “Saya meragukan dalam jangka panjang Inggris akan terus berada di UE,” ujarnya. “UE bisa, bila diperlukan, lanjut berjalan tanpa Inggris. Tapi, Inggris pasti lebih sulit bertahan tanpa UE.”
Terlepas dari berbagai alasan, sejumlah pengamat berpendapat bahwa negara-negara Eropa masih jauh lebih baik bila bekerja sama. Kebutuhan paling nyata ialah suara atau pendapat di dunia yang kini tak lagi terpusat, tetapi terpolarisasi secara kawasan. Jerman, Prancis, dan Inggris, mereka semua tetap terlalu kecil untuk dunia. Namun, sepenting apa pun posisi mereka, tulis Financial Times, tidak ada ambisi semacam pembentukan aturan dagang, penanggulangan perubahan iklim, pengamanan pasokan energy, promosi demokrasi dan stabilitas, yang begitu mendesak bila dilakukan sendiri-sendiri.
Untuk sementara, gonjang-ganjing krisis mungkin sedikit teredam. Beberapa jam setelah Uni Eropa dan sector swasta menandatangi paket dana talangan 237 miliar euro (310 miliar dolar AS) yang dirancang untuk mempertahankan Yunani dalam mata uang tunggal, Gedung Putih memuji kesepakatan itu sebagai terobosan penting, tetapi menekankan ada lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Langkah-langkah tambahan memang harus diambil, termasuk penguatan firewall (benteng) keuangan yang akan mencegah krisis utang menyebar ke negara Eropa lain, terutama Italia dan Spanyol.
Menurut ketentuan kesepakatan Yunani, bank akan mengalami kerugian 53 persen pada oblgasi Yunani, sementara Athena berkomitmen untuk serangkaian tindakan pemotongan biaya drastic dan mengubah konstitusi dengan prioritas pembayaran utang.
Bahkan, dengan kesepakatan itu, Uni Eropa dan anggotanya harus mengatasi berbagai hambatan untuk menjaga keutuhan zona euro karena beberapa anggota di bawah tekanan, seperti pertumbuhan rendah, melonjaknya penggangguran dan meroketnya utang. Namun, sama seperti nasib Kuil Delos, seberapa efektif langkah itu, waktu yang akan mencatat.
(sumber : Republika edisi Selasa, 06 Maret 2012 Hal. 25 oleh Siwi Tri Puji, Ajeng Ritzki Pitakasari)