Artikel Terbaru :

KOES PLUS NYANYIAN SEPANJANG ZAMAN

Oh penyanyi tua, lagumu sederhana Lagu dari hatinya Mutunya pun tak ada Dan anehnya banyak penggemarnya...

(Penyanyi Tua, Koes Plus)
Siapa tak kenal Koes Plus? Jawabnya, ham pir-hampir tak ada. Ya, tanpa sadar dan tanpa dinyana kini lagu-lagu milik grup yang diawaki tiga orang bersaudara asal kota kecil di Jawa Timur, Tuban--Yon Koeswoyo, Tonny Koeswoyo, Yok Koeswoyo, ditambah seorang pemuda asal Surabaya, Murry--bergema melintasi zaman. Berbagai perubahan politik dan sosial telah terjadi di negeri Indonesia tercinta ini. Meski begitu, Koes Plus tak lekang di benak publik. Lagu-lagunya selalu terasa kontekstual dan terus bergema melintasi rentang generasi.
“Lirik lagunya hebat, sederhana, dan tidak menggurui. Aransemennya pun bercitra rasa Indonesia. Lagu bercerita tentang apa saja, dari mulai cinta, kasih sayang orang tua, hingga merespons suasana sosial. Koes Plus, terutama dengan masternya Tonny Koeswoyo berhasil menghadirkan lagu tak sekadar `lagu', tapi sudah menyanyikan semangat zaman,'' kata penulis kondang remaja dekade 70an, Teguh Esha, yang namanya lestari berkat novel Ali Topan Anak Jalanan.
Teguh yang pada tahun awal 1980an sempat membuat album bersama salah satu personel Koes Plus, Yok Koeswoyo, menyatakan, semangat besar yang ditampikan para anggota grup band ini memang sulit dibantah.

Rekam jejak panjang karya mereka yang mencapai sekitar 144 album dan lebih dari 1.400 lagu mau tidak mau menjadikan Koes Plus sebagai salah satu legenda musik Indonesia.
“Ketotalan mereka dalam ber musik itulah yang belum tergantikan.
Mungkin boleh saja banyak seniman musik generasi berikutnya merasa lebih hebat sekaligus merasa lebih `berpunya' dalam soal materi, tapi Koes Plus secara esensial tetap belum tertandingi. Dia mengenyam betul pahit-manisnya dunia musik. Mengenal betul apa itu terkenal dan merasakan seperti apa rasanya di campakkan. Dan, itulah kebesaran grup ini. Yang pasti lagi, Koes Plus juga tercatat sebagai pelopor industri musik di negeri ini,'' ujar Teguh.

Bila dikaji kemunculan Koes Plus juga bukan dari hasil ekspresi pikiran sesaat. Sekitar 10 tahun sebelum Koes Plus berdiri, tiga bersaudara dari keluarga mantan pegawai negeri Regentschaps Raad Kantoor van Tuban, Koeswoyo sudah membentuk grup musik Koes Bersaudara. Bahkan, bila merunut proses kreatif dari sang kreatornya, Tonny Koeswoyo, keterlibatan mereka dalam musik lebih panjang lagi ke belakang.
Tonny yang lahir pada 19 Januari 1936 sudah bergumul dalam berbagai bentuk kesenian semenjak usia belasan.

“Mas Tonny itu dulu sempat ikut terlibat dalam kesenian ludruk. Ini dilakukannya sebelum kami pindah ke Jakarta pada 1952. Sebelum mendirikan Koes Bersaudara, Mas Tonny juga ikut dalam beberapa band, seperti bermain dalam band bersama Sopan Sophian,'' kata Yon Koeswoyo.
Dalam banyak segi bila mende ngar lagu Koes Plus, memang telinga orang Indonesia seolah diusik dalam sebuah komposisi yang `tak lazim'. Di sela lagu-lagu bergenre musik Barat, di sana terselip citra rasa nyanyian orang Indonesia yang suka mendayudayu yang bercitra rasa `pelog-slendro' (diatonis) itu. Tonny sebagai penggawa utama Koes Plus mampu mengawinkan citra rasa `silang-menyilang' ke dalam musiknya. Indo nesia yang terdiri dari beragam bentuk budaya hadir di dalam setiap lagu-lagunya.
Pengamat sosial Fachry Ali, ketika mengomentari soal keberadaan Koes Plus dalam benak orang Indonesia, dia mengatakan, citra rasa musik Koes Plus adalah mengidentikkan sebuah rasa dari kelompok sosial tertentu yang ada dalam masyarakat. Seiring dengan berubahnya zaman, yakni datangnya kemerdekaan dan hadirnya proses modernisasi modernisasi (pembaratan), Koes Plus hadir sebagai wahana untuk merespons dari berbagai keadaan yang muncul di luarnya, yakni publik Indonesia.
“Inilah yang unik. Bila sekarang masih terus digemari, Koes Plus itu hadir sebagai sebuah ekspresi yang mewakili kelompok elite masyarakat kota hasil urbanisasi. Dengan kata lain, mereka ini adalah mewakili citra rasa kaum urban yang mapan (established urban society). Ini, agak berbeda dengan musik dangdut yang mana posisi pendukung musik itu adalah mereka yang masih atau `tengah melakukan' urbanisasi dari desa ke kota. Jadi, citra musik Koes Plus dalam konteks ini adalah citra musik elite urban yang telah mapan,'' katanya.
Menyadari keadaan seperti itu, masuk akal bila kemudian penggemar Koes Plus sangat banyak jumlahnya. Bahkan, dari data yang dikumpulkan anggota klub penggemar Koes Plus `Jiwa Nusantara', penggemar fanatik band ini sekarang tercatat mencapai 1,3 juta orang. Sedangkan, jumlah band yang sampai kini resmi tercatat terus memainkan lagu Koes Plus jumlahnya sudah mencapai lebih dari 300 band.
“Biasanya kelompok elite sosial ini akan melakukan nostalgia bila ingin menceritakan atau mengenangkan masa lalunya kepada generasi penerusnya. Mereka ini ke mudian memutarkan atau memainkan lagu Koes Plus ketika hendak mengenangkan masa-masa mudanya ketika masih lekat dengan lahan persawahan, hutan, atau pepohonan di kampungnya dulu itu. Dan, ini mereka kemudian mengambil contoh lagu Koes Plus sebagai prototipe termudah untuk menyampaikan gejolak perasaannya,'' lanjut Fachry.
Fachry juga menegaskan, selain sebagai bentuk ekspresi satu kelompok masyarakat elite urban yang telah mapan, nilai penting dari Koes Plus adalah juga terletak pada sikap kepeloporannya ketika mengawali sajian musik dalam sebuah bentuk grup. Dan, keberhasilan ini diterus kan ketika lagu-lagunya laris serta kemudian menjadi penanda datangnya era baru industri musik. “Koes Plus menjadi pionir dari budaya pop dalam musik Indonesia. Dia memperkenalkan bentuk sajian grup band yang saat itu tak lazim,'' ujarnya.
“Memang dari dahulu sudah ada grup musik dan banyak penyanyi kondang. Hanya saja, bentuknya belum seperti grup band. Ide ini me mang datang dari luar negeri, tapi Koes Plus paling dulu meresponsnya.

Dahulu sebelum itu hanya dikenal penyanyi, sedangkan grup musik hanya sebagai pengiringnya. Format itulah yang kemudian diubah oleh Koes Plus,'' kata Fachry.

Hal yang paling menarik, lanjut Fachry, grup musik Koes Plus ini semakin melambung namanya setelah bersinggungan dengan situasi politik. Koes Plus seolah mendapat berkah dari suasana zaman yang sangat ideologis sehingga namanya kemudian sampai ikut disebut-sebut oleh Presiden Soekarno dalam sebuah pidato kenegaraan. Grup ini saat itu didudukkan sebagai `musuh politik' karena membawa konsep hidup ala Barat.
“Inilah uniknya lagi. Meski Koes Plus melambangkan citra rasa musik hasil kesenian `konservatif' dari kelompok masyarakat `elite yang mapan', karena bersinggungan dengan politik, dia membawa arus perubahan sosialpolitik. Nah, Koes Plus ikut menikmati gelombang zaman itu,'' jelasnya.
Senada dengan Fachry, Tegus Esha juga menyatakan dalam konteks dekade 70-an, musik Koes Plus juga menyiratkan bahwa perubahan radikal dalam situasi sosial-politik tengah terjadi secara dahsyat di Indonesia.

`Musim ideologi' baru yang ditandai hadirnya kaum pemodal asing, setelah selama zaman Bung Karno terhambat, saat itu meledak serta tumpah dengan sangat kuat. Kaum muda saat itu kemudian merespons gaya musik ini sebagai `jalan baru' ekspresi estetiknya.

Teguh mengata kan, sebagai pemimpin media hiburan dan penulis novel pada 1970-an itu, ia jelas terpengaruh oleh Koes Plus yang saat itu berada dalam puncak kreatif dan ketenarannya. Bahkan, lanjut Teguh, di dalam novel Ali Topan Anak Jalanan ia pun sempat menceritakan betapa lagu-lagu Koes Plus itu ikut memengaruhi jiwa sosok utama novel tersebut, ter utama di dalam mengisi narasi mata batinnya ketika hendak berbicara mengenai rasa etika timur dan nilai kesopanan sebagai respons atas situasi sosial.
“Ali Topan, misalnya, meski sekilas urakan, tetap menghormati orang tua. Jadi, brutalnya tidak ngawur seperti remaja kini. Kami tulis perasaan tersebut karena Ali Topan selain mendengarkan cara mengaji pembantunya `mbok Nah', dia juga mendengarkan lagu-lagu Koes Plus yang bercerita tentang filosofi hidup atau juga soal kicauan burung kenari di pagi yang indah itu,'' katanya.
Diakui Teguh, berbeda dengan musisi lain, bila saat itu menyimak lagu-lagu Koes Plus, memang di sana terasa adanya `hawa' atau semangat pemberontakan. Ini tecermin dari pilihan lirik yang lebih bernuansa kerakyatan dan beat lagu tidak lagi mendayu-dayu ala nyanyian patah hatinya Rahmat Kartolo atau pe musik sezaman lainnya.
“Jadi, meski terasa ada pemberontakan, kami saat itu pun masih merasa adanya keinginan untuk hidup `guyup' dan gotong royong ala `orang tradisional'. Istilahnya musik ini bukan musik yang teralienasi dari konteks sosialnya. Nah, adanya rasa `pencampuran dua semangat' (modern-tradisional) itulah yang bisa disajikan secara pas oleh Koes Plus.

Saya salut itu, terutama kepada mendiang Mas Tonny yang kebetulan saya kenal baik itu,'' jelas Teguh Esha.
Berkaca pada kenyataan bahwa Koes Plus sudah menjadi ekspresi sebuah kelompok masyarakat dan menjadi sebuah penanda era zaman, masuk akal bila kemudian lagu-lagu Koes Plus punya umur yang bisa melintasi zaman. Dan, pada soal ini pun kembali membuktikan adanya sebuah jargon bahwa apa pun bentuk dari sebuah hasil kesenian sejatinya itu adalah hasil ekspresi dari sebuah kenyataan sosial.
Jadi, bila Koes Plus dapat lestari sampai kini, hal itu bukan hanya berasal dari kemerduan suara Yon, rancak bas yang dipetik Yok, entakan semangat yang dibawa lewat pukulan drum Murry, atau tingginya imajinasi si jenius Tonny saja, melainkan karena mereka menyanyikan suara hati dari sebuah zaman.
Indonesia patut bersyukur memiliki grup musik seperti Koes Plus ini! Sebab, melalui lagu merekalah `rasa Indonesia' terasa ada. Dan, ini menjadi bukti bahwa musik bisa menjadi identitas sekaligus menyatukan itas sekaligus menyatukan bangsa yang memang besar ini.
(source: Republika.co.id edisi Kamis, 12 April 2012 Oleh Muhammad Subarkah)