Siapa sebenarnya Yang Mahaesa itu? Siapa pula yang majemuk itu? Apakah yang banyak dan yang majemuk itu manifestasi (tajalli), refleksi (faidh), atau ciptaan (makhluk) Yang Mahaesa? Atau ketiga-tiganya? Alam ini sama sekali tidak bisa dibandingkan dan dihubung- kan dengan kemahamuliaan Allah. Siapa sebenarnya Yang Mahaesa itu? Siapa pula yang majemuk itu? Apakah yang banyak dan yang majemuk itu manifestasi (tajalli), refleksi (faidh), atau ciptaan (makhluk) Yang Mahaesa? Atau, ketiga-tiga nya? Pertanyaan yang amat mendasar ini berusaha dijawab oleh para filosof/mutakallimin dan para sufi. Bagaimana pendapat mereka tentang hal ini? Adakah titik temu antara keduanya? Berawal ketika Allah SWT ber kehendak untuk melihat esensi nama-nama atau diri-Nya maka Dia mewujudkan alam (hadis su dah dibahas dalam artikel terda hulu). Allah SWT dalam esensinya sebagai al-Ahad sama sekali tidak ada hubungannya dengan nama dan sifat. Dia Maha Independen, Mahakuasa, Mahamandiri. Akan tetapi, “ketika Allah SWT berkehendak untuk melihat diri-Nya sendiri (lihat hadis di atas), maka Ia memanifestasikan diri melalui proses emanasi sakral (al-faidh alaqdas) kemudian muncul nama-na ma-Nya dalam level maqam W a hi diyyah di dalam apa yang pernah disebut dengan al-A’yan al-Tsa bitah (lihat artikel terdahulu). Esensi nama-nama itu tidak lain adalah esensi-Nya sendiri. Da lam bahasa Ibnu Arabi, Allah SWT (al-Haq) berkehendak untuk melihat diri-Nya melalui nama-namaNya. Nama-nama itu kemudian menuntut aktualisasi lalu terwujudlah alam ini. Kategori alam ialah sudah berada di luar dari alA'yan al-Tsabitah atau alam sudah berada di level al-a'yan al-kharijiyyah, karena itu alam sudah menjadi realitas aktual yang oleh para sufi disebut al-kaun sebagai istilah lain dari al-khalq dan para filosof atau mutakallimin disebut al-wujud sebagai istilah lain dari almakhluq. Para sufi memandang alam (alkaun/al-khalq) tidak bisa dipisahkan dengan Allah SWT (al-Haq), karena alam merupakan manifestasi Ilahi melalui proses emanasi lanjutan (al-ta'ayyun al-tsani).
Alam merupakan bagian dari mata rantai yang tak terputus melalui proses suci (devine proces) dari level Ahadiyah. Meskipun demikian, para sufi mengakui bahwa meskipun alam secara historis merupakan turunan dari wujud sakral (divine reality) namun alam tidak bisa disebut Tuhan (al-Haq) karena alam sudah termasuk kategori ciptaan (al-khalqiyyah). Sedangkan para filosof atau mutakallimin menganggap alam sebagai wujud (al-wujud/al-makhluq) yang terpisah sama sekali de ng an Allah SWT. Alam adalah makh luk dan Allah SWT adalah Sang Khalik. Bagaimana proses keberadaannya itu urusan Allah SWT dan bagi-Nya segalanya amat mu dah melalui proses “kun fa yakun”. Alam ini sama sekali tidak bisa dibandingkan dan dihubungkan dengan kemahamuliaan Allah SWT, dengan kata lain alam ini bukan divine reality sebagaimana kata para sufi. Relasi alam dan Tuhan menurut epistimologi tasawuf sangat dekat (QS al-Baqarah/2:186), bahkan tak terpisahkan (QS al-Anfal/8:17). Allah lebih dekat dari urat nadi kita (QS al-Baqarah/2:165), ke manapun wajah menghadap di situ ada wajah-Nya (QS al-Baqarah/ 2:115). Bagi para sufi, sulit membedakan atau bahkan tidak bisa membedakan antara Yang Esa dan yang banyak, antara Yang Tunggal dan yang plural, karena yang banyak dan majemuk itu (hanyalah) refleksi dari Yang Mahaesa.
Pola relasi Tuhan (al-Haq) dan hamba (al-halq) lebih bersifat inmanen, karena itu mereka lebih menonjolkan rasa cinta. Sedangkan epistimologi filsafat/kalam relasi alam dan Tuhan berangkat dari asumsi bahwa Tuhan (al-Khaliq) adalah Sosok Yang Mahatransenden (jauh), dan makhluk sebagai hamba tidak bisa dibandingkan, apalagi dianggap memiliki keserupaan (similarity) dengan Tuhan. Tuhan ya Tuhan yang harus disembah dan hamba ya hamba yang harus menyembah (QS al-Dzariyat/51:56), Tuhan tidak bergantung sama sekali pada makhluk-Nya. “Dia Mahakuasa atas segala sesuatu,“ (QS Hud/11:4). Manusia memang ditunjuk sebagai khalifah (QS al-Baqarah/2:30), tetapi tidak menggeser kedudukannya sebagai hamba yang berkewajiban untuk mengabdi kepada Tuhan. n (bersambung) (source: Republika, Jumat 13 April 2012 Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar) |