Aneh, tentara yang turut berkuasa 32 tahun dalam pemerintahan Orde Baru sama sekali tidak mengetahui akan adanya kerusuhan kolosal di Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya.
Malam itu, suasana di Monumen Nasional (Monas) masih tera sa mencekam. Sejumlah kendaraan lapis baja militer dan kepolisian siaga di sepanjang jalan yang mengelilingi Istana Negara. Departemen Pertahanan dan Keamanan dijaga sangat ketat, tidak seperti biasanya.
Kali ini, saya harus masuk pintu gerbang dan pos penjagaan dengan berbagai pertanyaan. Setelah mele wati pos jaga yang bersebelahan dengan kantor Menko Polkam di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, saya menuju sebuah ruangan di lantai dua. Menemui seorang kolonel senior angkatan darat.
“Apa kerja tentara yang telah berkuasa 32 tahun? Bagi saya, tak masuk akal ada kerusuhan kolosal sejak 12 Mei 1998. Saya curiga, ada tentara yang terlibat kerusuhan ini.
Di mana aparat intelijen?“ kata saya, membuka percakapan pada senja itu.
Sang kolonel pun dengan geram menjawab, “Saya setuju dengan pendapatmu. Ada jenderal yang terlibat dalam kasus ini. Memalukan!“ ujar kolonel lulusan akademi militer itu.
“Lantas siapa jenderal itu?“ tanya saya pada kolonel yang terus memantau perkembangan kerusuhan Mei 1998 itu, melalui televisi, radio, serta HT.
“Kamu tahu, tapi kamu purapura tidak tahu,“ jawabnya sambil mengisap rokok dalam-dalam.
Percakapan yang berlangsung 14 tahun lalu itu hingga kini masih terekam dengan baik. Tragedi Mei 1998 menyisakan misteri tentang siapa jenderal yang terlibat dalam kerusuhan terburuk pada akhir pemerintahan Orde Baru.
Tabir yang menyelimuti kerusuhan 13-15 Mei 1998 tentu saja tak bisa dipisahkan dengan kasus keji penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta, 12 Mei 1998.
Namun, hingga kini, walau telah berganti pemerintahan, mulai dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, tetap saja tak mampu menguak tabir tersebut.
Ada Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dipimpin Marzuki Darusman dari Komnas HAM. Tim itu dibentuk pemerintah, namun tak pernah ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Khususnya, dari kalangan jenderal para pengendali keamanan kala itu.
Padahal, ada sejumlah pejabat tinggi militer dan kepolisian yang kala itu bertanggung jawab terhadap masalah keamanan. Mulai dari Panglima ABRI Jenderal Wiranto, Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsuddin, dan Kepala Staf Kodam Jaya Brigjen Sudi Silalahi.
Kemudian, ada Kapolda Metro Jaya Mayjen Polisi Hamami Nata, Komandan Korps Marinir Mayjen Suharto, Komandan Jenderal Kopassus Mayjen Muchdi PR. Atau, Panglima Kostrad Letjen Prabowo Subianto yang disebut-sebut mengerahkan pasukan dalam peristiwa yang secara serius diproses untuk dimintai pertanggungjawaban.
Begitu pula kalangan intelijen yang semestinya bisa menguasai informasi, seperti Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) Mayjen Zacky Anwar Makarim serta komandankomandan satuan intel di berbagai angkatan dan kepolisian.
TGPF menemukan berbagai kejanggalan dalam aspek pertanggungjawaban keamanan. Dari hasil verifikasi saksi dan korban, testimoni para pejabat ABRI dan mantan pejabat terkait, dari aspek keamanan, TGPF menemukan sejumlah fakta.
Apa itu? Ternyata koordinasi antara satuan keamanan kurang memadai, ada keterlambatan antisipasi, ada aparat keamanan di berbagai tempat tertentu yang membiarkan kerusuhan terjadi. Juga ditemukan adanya bentrokan antarpasukan di beberapa wilayah dan adanya kesimpangsiuran penerapan perintah dari masing-masing satuan pelaksana.
Menurut laporan TGPF yang terdiri atas beberapa jilid dengan jumlah halaman hampir 1.000, di beberapa tempat didapatkan bukti bahwa jasa-jasa keamanan dikomersialkan. Seperti, menggunakan kesempatan dalam kesempitan dengan konsumen dari kalangan tertentu.
Yang menarik adalah pengakuan dari anggota TGPF yang merasa heran ketika mencari informasi dari sejumlah jenderal. “Para jenderal itu mengaku, banyak tidak tahu atau menjawab yang tidak sesuai dengan pertanyaan. Maaf, seperti orang pilon, dalam bahasa Betawi.“
Beberapa lainnya menyampaikan penjelasan-penjelasan normatif yang tak berguna untuk memperjelas persoalan. Bahasa dan kalimat para jenderal itu juga sering kali kurang jelas, tidak fix, entah sengaja entah tidak.
Terlihat pula ada situasi saling `melemparkan' tanggung jawab.
Padahal, nyata-nyata secara formal tanggung jawab keamanan itu ada di tangannya. Di satu sisi, TGPF pun terkesan kurang berhasil `mengejar' para jenderal itu dengan pertanyaanpertanyaan mereka. Apakah karena kekurangan data atau sebab lain. Dan, yang paling sulit dimintai tanggapannya adalah Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto sebagai puncak komando kala itu.
Di sinilah muncul kecurigaan adanya konspirasi dan skenario dalam pergulatan kekuasaan menjelang jatuhnya Presiden Soeharto. Tetapi, tetap saja tak pernah ada sentuhan lebih lanjut untuk mengungkap peristiwa memalukan bagi bangsa ini.
Kini, 14 tahun sudah sejumlah nama perwira tinggi dan perwira menengah senior berkibar di kancah nasional. Mereka masih eksis menjalankan perannya masing-masing.
Di sisi lain, para keluarga yang kehilangan anak atau suami menangis dengan air mata yang sudah mengering. Mencari kebenaran. Ya, hanya itu pekerjaannya, mencari kebenaran sebab musabab hilangnya nyawa orang-orang yang dicintainya.
Dalam buku Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Letjen (Purn) Sintong Pandjaitan mempersoalkan tindak tanduk Jenderal Wiranto pada seputar peristiwa Mei 1998. Salah satunya adalah bahwa “pada tanggal 14 Mei 1998, Menteri Hankam/Panglima ABRI Jenderal Wiranto tetap berangkat ke Malang, Jawa Timur, untuk bertindak sebagai inspektur upacara dalam serah terima tanggung jawab Pasukan Pemukul Reaksi Cepat ABRI dari Divisi I kepada Divisi II Kostrad“.
Bagi Sintong, ini menjadi tanda tanya besar. “Alangkah tidak masuk akal, sampai hari ini pun sangat tidak masuk akal. Mengapa sebagian besar pimpinan ABRI pada waktu itu berada di Malang? Kalau mereka tahu akan terjadi kerusuhan yang begitu dahsyat, tetapi memutuskan tetap pergi ke Malang maka mereka membuat kesalahan,“ ujarnya.
Tetapi, kalau mereka tidak tahu akan terjadi kerusuhan, lanjut Sintong, mereka lebih salah lagi. “Mengapa mereka sampai tidak tahu?
Kerusuhan yang terjadi di Jakarta bukan hanya merupakan masalah Kodam Jaya, tetapi sudah menjadi masalah nasional.“
Apa jawaban Wiranto? Ia mengaku tidak bermaksud membiarkan Ibu Kota Negara dalam keadaan kisruh dan tak terkendali. “Saat itu, bukan zaman Romawi atau Majapahit. Jadi, panglima bisa mengendalikan komando dari mana saja,“ kata Wiranto dalam sebuah wawancara.
Lagi pula, menurut Wiranto, ia berangkat ke Malang atas undangan Panglima Kostrad Letjen Prabowo yang meminta dirinya memimpin upacara itu. Acaranya sendiri sudah direncanakan lama.
“Kepergian perwira tinggi yang mengikuti ke Malang sudah berdasarkan pertimbangan staf. Keikutsertaan mereka--kebanyakan perwira staf Mabes ABRI--tak akan jadi masalah karena tidak terlibat pengamanan Ibu Kota. Apalagi, kepergiannya hanya membutuhkan waktu tiga jam.“
Sementara itu, Prabowo menganggap, kepergian para jenderal ke Malang sebagai keputusan Wiranto yang aneh. Untuk mencegahnya, Prabowo mengaku, telah delapan kali menghubungi Wiranto melalui telepon. Prabowo mengaku, telah mengusulkan pembatalan acara di Malang.
Dalam buku Politik Huru-Hara Mei 1998, Fadli Zon menyarankan kasus kepergian para jenderal ke Malang diselidiki lebih jauh. “Itu dapat mengungkap siapa dalang dan kambing hitam kerusuhan Mei 1998,“ ucap Fadli Zon.
Soal telepon tersebut, Wiranto membantahnya. “Setiap telepon yang masuk selalu tercatat di sekretaris pribadi atau ajudan. Kenyataannya, permintaan pembatalan itu tak ada dalam catatan.“
(source: Republika edisi Rabu 16 Mei 2012)