Artikel Terbaru :

Lukisan Raden Saleh adalah Pusaka

"Penangkapan Diponegoro" dibuat oleh pelukis Muslim yang hebat dan menampilkan keberanian pejuang Muslim yang taat.

Ia keluar dengan dada membusung, tak gentar sedikit pun. Postur tubuhnya yang kecil tak mampu menyem bunyikan kegagahan pria di balik jubah putih itu. Tujuh orang opsir kompeni menggiringnya, disaksikan 38 orang laki-laki pribumi. Di luar, sebuah kereta kuda telah menanti.
Pangeran Diponegoro, demikian pria berjubah itu dikenal, ditangkap dalam sebuah perundingan yang khianat di rumah Residen Kedu di Magelang, 1830.

lukisan raden saleh

Ketegangan yang terjadi hampir dua abad lalu itu tergambar jelas dalam lukisan “Penangkapan Diponegoro“ karya sang maestro lukis, Raden Saleh Sjarif Bustaman.

Mahakarya yang selesai dibuat pada 1857 itu kini tergantung di salah satu sisi dinding Galeri Nasional, tempat pameran bertajuk “Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia“ yang digelar pada 3-17 Juni 2012. Lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 111 cm x 178 cm itu seolah menghadirkan kembali adegan pengkhianatan terhadap sang pangeran.

Lukisan itu sarat dengan isyarat.
Dan, sastrawan Taufiq Ismail menangkap isyarat tersebut. Lewat puisi berjudul “Pangeran Diponegoro, Magelang, 28 Maret 1830,“ ia mengekspresikan perasaan terdalamnya pada dua sosok di balik mahakarya abad ke-19 tersebut.

Taufiq mengaku terpukau oleh lukisan itu. “Ada keberanian yang sangat patut dihormati,“ ujar dia saat ditemui di kediamannya di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur.
Ceritanya mengalir, dengan raut kekaguman yang tidak dibuat-buat. “Saya sangat hormat pada sosok Pangeran Diponegoro, juga pada Raden Saleh,“ lanjutnya.

Kekaguman itu membuatnya tak mampu meninggalkan ruang pameran yang dikunjunginya, 1995 silam. Lama ia memandangi lukisan itu, mencoba menggali makna dari setiap goresan sang maestro. Taufiq merekam dan mencatat setiap detailnya, lalu menulisnya. “Setelah Raden Saleh menceritakan peristiwa itu secara visual, saya ingin melukiskannya secara verbal,“ ujar pria berusia 77 tahun itu.
Penangkapan Diponegoro, menurut Taufiq, lebih dari sekadar lukisan.

“Ada banyak pesan dan isyarat simbolik di sana.“ Keberanian Pangeran Diponegoro, misalnya, tergambarkan melalui gestur dan ekspresi yang menantang. Ekspresi rakyat pribumi yang menyaksikan penangkapan itu, beberapa wanita yang menangisinya, kuda hitam, dan cemeti yang patah di salah satu sisinya tak luput dari pengamatan Taufiq.

Lukisan Raden Saleh

Pun opsir Belanda, Raden Saleh menggambarkannya dengan anatomi yang tidak proporsional. Penggambaran fisik tersebut, menurut Tau fiq, merupakan representasi dari diri para opsir itu. “Jiwa mereka (para opsir Belanda dalam lukisan) seperti bentuk tubuh mereka, tidak proporsional. Dan, itu bukan keti daksengajaan atau kesalahan yang dilakukan Raden Saleh,“ ujarnya.
Taufiq terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Lukisan `Penang kapan Diponegoro' adalah karya yang hebat. Ia dibuat oleh seorang pelukis Muslim yang hebat dan me nampilkan keberanian seorang pe juang Muslim yang taat,“ ujarnya, kembali dengan binar kekaguman.

Kekaguman Taufiq beralasan.
Di mata penyair itu, Diponegoro adalah Muslim yang saleh, pemim pin yang bersahaja, dan pemuka agama yang taat. Ia berperang me lawan Belanda selama lima tahun dan tak pernah menyerah hingga wafat setelah 15 tahun berada dalam pengasingan.

Hal itu agaknya sepadan de ngan imbalan yang didapat Taufiq.
“Saya puas,“ katanya. Ia menga takan, puisi merupakan media penyampai gagasannya tentang keikhlasan, keberanian, dan ketabahan sosok pahlawan yang dikaguminya itu. “Menulis puisi tentang Diponegoro adalah kewajiban saya.“
Seniman total Tentang Raden Saleh, selain sebagai Muslim yang taat, Taufiq juga melihatnya sebagai seniman yang total. Taufiq bercerita singkat tentang masa hidup sang maestro, pendalaman kemampuan seninya di Jerman, juga karya-karyanya yang hebat. “Raden Saleh sangat teliti mengerjakan setiap detail rumit karyanya. Dan, yang lebih mengagumkan, ia pernah membangun masjid di Jerman.“
Kekaguman itu, tambah Taufiq, semakin membuncah ketika dia melihat lukisan “Penangkapan Diponegoro“ itu. “Sejak pertama melihat lukisan itu, saya sudah berjanji pada diri saya sendiri, saya akan menulis puisi tentangnya,“ ujar Taufiq bersemangat. “Lukisan Raden Saleh adalah pusaka bagi kita semua.“
sumber : Republika edisi : Minggu, 10 Juni 2012 hal. 11 Oleh Devi A Oktavia