Artikel Terbaru :

Pelajaran Dari PEMILU 1955

soekarno pemilu 1955

Partai Islam ‘menang’ pemilu itu sudah ada jejaknya.

Pada Pemilu 1955, Partai Masyumi terbukti pernah mempunyai jumlah kursi terbanyak di Parlemen Se- mentara Indonesia. Karena itu, pemilu di era Bung Karno ini hendaknya bisa menjadi pelajaran!

Benarkah Partai Islam di Indonesia tak pernah menang dalam pemilu? Jawabannya, ternyata bergantung dari definisi apa yang dimaksud dengan kata ‘menang’ itu. Bila me nga cu pada perolehan suara pemilu se pan jang bangsa ini merdeka hal itu memang tidak pernah. Tapi, ada hal lain bila kita mau memberikan arti lain atau data baru atas arti kata ‘me nang’ tersebut.
Pada tabulasi hasil Pemilu 1955 di sa na tertera secara jelas bahwa Partai Na sional Indonesia (PNI) mendapat mem peroleh suara terbanyak dengan 8.434.653 suara. Di belakangnya, ber tu rut-turut Partai Majelis Syuro Mus limin Indonesia (Masyumi) dengan 7.903.886 suara, Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 suara, Partai Komunis Indo ne sia (PKI) 6.179.914 suara, Partai Sya rikat Islam Indonesia (PSII) 1.091.160 suara.

Nah, selama ini data inilah yang se lalu digembar-gemborkan untuk me li hat bahwa partai Islam belum per nah me menangi pemilu. Tapi, bila kemudian data ini dikaitkan dengan da ta lain, ar ti ‘menang’ itu bisa saja berubah. Se bab, fakta lainnya dalam Pemilu 1955 itu Partai Masyumi malah memperoleh kursi terbanyak dalam parlemen. Masyumi mendapat 44 kursi, PNI 42 kursi, NU delapan kursi, PKI 17 kursi, PSII empat kursi. Jadi, siapakah kini yang keluar menjadi pemenang itu? Data ini akan semakin bermakna lain bila kemudian merujuk pada fak ta jumlah kursi yang berhasil dik on ver si atas hasil perolehan suara. Per ole h an suara Masyumi ternyata berimbang de ngan PNI, yakni 57 kursi, NU 45 kursi, dan PSII delapan kursi. Jadi, dalam soal ini adakah partai yang mampu ke luar sebagai pemenang tunggal?

kukan. Paling tidak fakta ini akan membuat kening berkernyit. Sebab, sama dengan fakta yang timbul di masa itu saat semua orang pun terkejut bila PKI mendapat dukungan sua ra sangat besar dan dapat menduduki ranking keempat dalam perolehan suara pemilu, serta berada di ranking ketiga dalam perolehan jumlah kursi di ‘parlemen sementara’, kenyataan bahwa Masyumi juga pernah keluar sebagai ‘pemenang’ pemilu memang tidak terdengar ke publik. Bahkan, ada pihak yang sengaja membuat soal ini sebagai sebuah ‘trauma politik’.
Dari tulisan yang dibuat Feith, Pemilu 1955 memang terjadi persaing an menjaring suara yang sangat ke ras.

Apalagi, saat itu pembelahan ideologis antarpartai begitu kentara. PNI me wa kili partai penguasa dan kaum pri yayi Jawa (abangan), PKI mewakili rak yat biasa, Masyumi mewakili Mus lim perkotaan dan luar Jawa, NU mewakili masyarakat Muslim pedesa an (tradisional). Situasi ini semakin se ru karena pemilu juga dilatarbela kangi suara persaingan, bahkan cek-cok politik, yang terus berkepanjang an dengan diwarnai jatuhnya bangunnya kabinet.

Situasi ini tecermin jelas dalam kampanye dari para partai politik.

Feith menulis daya tarik dan im bau an kampanye partai-partai ti dak bisa dipahami, kecuali bila diletakkan pada latar belakang isu-isu yang di per juangkan dalam kegiatan politik di Ja karta atau tingkat nasio nal, sebagai mana disebarkan dalam berbagai su rat kabar Ibu Kota. Seba gi an besar isu itu menyangkut pola po litik kabinet.

“Ada isu yang menyangkut persoalan an tara pendukung dan penentang ka binet Wilopo (3 Apri 1952 – 3 Juni 1953), Kabinet Mr Ali Sastro amod jojo dari PNI (1 Agustus 1953 – 24 Juli 1955) yang bertahan hampir selama dua tahun masa kampanye, yang kemudian mengundurkan diri 11 minggu sebelum pemilihan umum, dan kabinet Mr Burhanuddin Harahap dari Masyumi (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956) yang menyelenggarakan pemilihan umum tersebut,” tulisnya.

Debat soal komposisi kabinet inilah yang kemudian terbawa-bawa dalam ajang pemilu itu.
Tak beda dengan masa kini, selain soal pembagian kursi politik di pemerintahan, isu syariat Islam saat itu pun sudah ikut dibawa-bawa dan dijadikan bahan debat yang sangat serius dalam berbagai forum publik. Dan, orang yang pertama kali mengangkat soal isu ini ke atas panggung politik adalah Soekarno yang saat itu menjabat sebagai presiden, tepatnya di sebuah pidatonya pada Januari 1953.
Meski saat itu waktu pencoblosan masih lebih dari dua tahun lagi, Soekarno saat itu sudah memanaskan suhu politik dengan mengeluarkan `peringatan' bahwa adanya upaya menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, yang akan disusul dengan pemisahan diri wilayah-wilayah tertentu.
Kontan saja tokoh Masyumi asal Jawa Barat, Kiai Haji Isa Anshary, mengecamnya. Dia membalas ucapan `sang pemimpin besar' itu dengan kalimat sangat keras dan menyebutnya sebagai `munafik' dan `kafir'.

Tak hanya Isa Anshari, kalangan Partai Masyumi jelas menangkal keras tudingan Soekarno yang juga ketua umum PNI. Apalagi, saat itu kedua partai itu tampil di atas publik sebagai dua musuh politik bebuyutan. Masyumi menyangkal bahwa perjuangan partai untuk menegakkan `negara berdasarkan Islam' bertentangan dengan Pancasila. Masyumi kemudian membalas pernyataan ini dengan menggelar rapat-rapat raksasa untuk memprotes pernyataan tokoh PNI tersebut, yang juga kemudian diikuti oleh para tokoh partai kecil, misalnya Partai Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia. Mereka dengan lantang menganggap tudingan itu tak berdasar dan merupakan sebuah penghinaan terhadap Islam.

Di kala Masyumi dan PNI sibuk berpolemik soal hubungan agama dan negara, PKI menggarap para pemilih dengan isu kerakyatan, seperti mun cul nya kemiskinan yang akut serta situasi kehidupan rakyat yang terus memburuk. Mereka dengan bersemangat mengaitkan semua hal itu dengan adanya cengkeraman imperialisme atas perekonomian Indonesia. PKI me ngangkat isu kenaikan harga garam, nilai uang yang turun, isu perburuhan, pemberontakan Darus Islam, kenaik an harga beras dan minyak goreng, ser ta berbagai isu populis lainnya. Se lain itu, PKI juga tak lupa terus me nye rang posisi kabinet yang saat itu di kuasai tokoh Masyumi dan Partai So silis Indonesia. Mereka pun terus be rupaya mencuci bersih noda darah pem berontakan PKI pada 1948 di Madiun.

Mengatasi serangan kaum kiri dan sekuler, selalu wakil politik Islam, Mas yumi saat itu membuat garis pe misah yang jelas antara Komunis dan partai-partai lain. Para juru bicara politiknya menuduh PKI sebagai juru bicara Moskow sembari terus meng ungkit kasus peristiwa berdarah di Ma diun. Mereka menyerang sikap antiagama Komunisme. Tak cukup dengan kata ‘kafir’, para juru bicara Mas yumi pun menyerukan agar bila meninggal orang Komunis tidak di kuburkan secara Islam. Dalam hal ini Feith melukiskan situasi saat itu pe nuh dengan suasana ‘hantam kromo’ ka rena klaim-klaim dua polar ini ber edar hingga ke tingkat desa-desa.

Mas yumi yang saat itu berdiri ber sama Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Katolik, dikerubut tiga poros kekuatan lain, yakni PNI di satu si si, NU di pihak lain, dan PKI di pi hak lainnya lagi. Suasana persaingan menjadi berbentuk ‘poros segitiga’.

Lebih unik lagi, seperti yang ditulis Feith selain menggelontor masa de ngan sikap saling serang ideologis, saat itu pun sudah muncul berbagai usaha penggalangan dana. Menurut dia, me nge nai sumber-sumber keuang an par tai-partai politik, adalah ke nya taan bahwa korupsi di tingkat ke menterian dila kukan untuk mengumpulkan dana partai secara besar-besaran.

“Dalam hal ini, PNI yang paling banyak mendapat keuntungan, karena partai ini memegang portofolio ke uang an dan ekonomi, serta jabatan Per dana Menteri Ali Sastroamidjojo.

PNI punya sumber daya tambahan yang penting, sumbangan pengusaha di kota-kota, yang pribumi ataupun Tionghoa,” tulis Feith. Dalam catatan kaki pada tulisan ini, Feith menam bah kan soal praktik korupsi uang ne gara untuk dana partai sebagai beri kut. Bukti-bukti praktik ini diungkapkan dalam sejumlah perkara yang diajukan ke pengadilan, khususnya pengadilan bekas menteri kehakiman Mr Djodi Gondokusumo dari Partai

Rakyat Nasional (PRN) dan kepala Departemen Perindustrian Jawa Timur, Darmansjah, seorang PNI.
Lalu, di mana sumber dana keuangan PKI? Feith menulis saat itu pun asal-usul dana PKI diperdebatkan.
Menurut dia, orang boleh percaya atau tidak angka-angka yang disuguhkan partai itu mengenai sumbangan anggota dan simpatisannya. Tetapi, yang jelas tidak dapat diragukan adalah iuran anggota dan sumbangan kecil berperan dalam pembiayaan partai itu.
Namun, mengingat uang yang dikeluarkan partai ini jelas sangat besar sekali, mau tidak mau orang menduga bahwa PKI mesti memperoleh dana yang jauh lebih banyak dari sumbersumber lain, misalnya dari pengusaha Tionghoa di Indonesia. Selain itu, sangat mungkin PKI mendapat sumbangan dari negara-negara Komunis melalui kedutaan dan kantor perwakilan dagang mereka di Jakarta. Apalagi, kebutuhan dana partai ini sangat besar karena PKI saat itu sudah menjalankan partainya dengan banyak sekali orang yang mendapat gaji tetap.

Sedangkan untuk Partai Masyumi asal dana kampanye partai ini berasal dari iuran anggota serta memanfaatkan dana zakat dari para simpatisan dan kadernya. Selain itu, Feith juga mengindikasikan, karena jumlah sumbangan dari kader Masyumi juga terbilang masih kecil, 'boleh jadi' Masyumi juga mendapat sokongan dana dari para pengusaha batik, tuan tanah, ataupun pengusaha perkebunan karet.
Sama dengan Masyumi, penyumbang dana partai dari Nahdlatul Ulama sebagian besar juga berasal dari golongan serupa.

Serunya pertarungan ini terus berlangsung hingga waktu pencoblosan yang diadakan dua kali, yakni pada September dan Desember 1955.
Feith menulis kesannya dengan penuh perasaan. Apalagi, ia datang langsung mengamati proses pemilu itu.

“Kalau Pemilu Orde Baru sering disebut pemilu semu, karena hasilnya praktis sudah diketahui sebelumnya, Pemilu 1955 lain. Pemerintah yang menyiapkan dan menyelenggarakan berhasil menegakkan kompetisi antarpartai yang bebas sekali, walaupun konflik antarpartai sering sangat sengit, khususnya antara kubu PNI dan Masyumi,“ ujarnya Alhasil, apa pun kenyataannya publik perlu tahu apa yang terjadi pada Pemilu 1955. Termasuk seperti apa hasil perolehan suara, jumlah kursi, persentase, hingga besaran jumlah kursi yang didapat partai Islam di parlemen. Janganlah ada yang disembunyikan!)
(sumber: Republika Edisi, Selasa, 26 Juni 2012 hal 24 Oleh Muhammad Subarkah)