Artikel Terbaru :

Hikmah - Tidak Ingin Populer

Al-Hasan al-Bashri bertutur tentang Ibnul Mubarak. Suatu saat Ibnul Mubarak pernah datang ke tempat sumber air dimana banyak orang yang menggunakannya untuk minum.

Kala itu orang-orang tidak ada yang mengenal siapa Ibnul Mubarak. Orang-orang pun akhirnya saling berdesakan dan saling mendorong untuk mendapatkan air tersebut. Ketika selesai mendapatkan minuman, Ibnul Mubarak pun berkata pada al-Hasan al-Bashri. "Kehidupan memang seperti ini. Inilah yang terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak dihormati."

Sebagaimana banyak orang saleh dahulu kala, kita lihat tokoh agung Ibnul Mubarak ini lebih senang kondisinya tidak tenar dan tidak menganggapnya masalah. Sedangkan sekarang ini, ribuan cara dan sensasi digunakan hanya karena ingin terkenal.

Tradisi tidak ingin populer demi menjaga keikhlasan amal,  memang begitu kuat di kalangan mereka. Mereka tak peduli dengan gemerlap mobilitas manusia yang berkelas sekalipun. Karena mereka lebih sibuk mengasah batinnya di hadapan Ilahi. Sebab, di sanalah di bisa merenguk kenyamanan dan ketentraman yang tak terperi.

Ibnu Atha'illah as-Sakandari, dalam kumpulan larik puitis tasawufnya yang terkenal, al-hikam, menulis: "Idwan wujuduka fi ardhil-khumul, fama nabata mimma lam yudfan la yatimmu natajuhu" (Tanamlah wujudmu dalam bumi ketidakterkenalan, karena sesuatu yang tumbuh dari apa yang tidak ditanam, maka hasilnya tidaklah sempurna).

Tentu mereka juga tidak antisosial, karena justru dengan berinteraksi bersama manusia lain itulah, pesan-pesan Ilahi bisa disampaikan kepada mereka. Tapi, mereka sama sekali tidak bangga dengan sanjungan manusia, karena bukan itu yang mereka tuju.

Dan jika sebaliknya yang terjadi, yakni senang dengan pujian mereka maka hal itu menjadi petaka baginya. "Al-isti'nasu bin-nas, min alamatil-iflas (merasa nyaman dan senang bersama [pujian] manusia, adalah sebagian dari tanda kebangkrutan)," ujar Dzun nun.

Bertumpu hanya kepada diri sendiri dan bukan kepada ketokohan adalah pelajaran lain yang tidak bisa diambil dari narasi di atas, yang mungkin nyaris punah dari kita. Lihatlah fenomena yang terjadi dilingkungan kita, ketika kita mengurus perkara tertentu, kita sering dihadapkan  pada tembok birokrasi yang begitu kokoh sambil tidak memperoleh kejelasan perihal urusannya.

Tapi, begitu datang tokoh anu atau anak tokoh anu maka serta-merta hal itu memutuskan jalur antrean yang panjang sekalipun, mengabaikan profesionalisme dan keahlian sehebat apa pun, sehingga publik pun sering mengandalkan tokoh tertentu untuk memperlancar urusannya. Karena memang sistemlah yang membentuk demikian.

Sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada kurun tabiin. Misalny, apa yang terjadi dengan tokoh besar di kalangan tabiin, yaitu Ibnu Muhairiz, dimana Basyir bin Saleh bertutur, Ibnu Muhairiz datang ke sebuah kedai dengan membawa sastu daniq (seperenam dirham).

Dia ingin membeli sebuah baju. Kemudian seseorang berkata kepada pemilik toko, "Ini adalah Ibnu Muhairiz marah dan ia pun segera keluar seraya berkata, "Saya membeli dengan harta saya, bukan dengan agama saya."

(sumber: Republika edisi Kamis, 28 Februari 2013 Oleh Makmun Nawawi hal 01)